• Mengorek Kejayaan Masa Lalu

    Oleh: Febrian Fachri

    Selama ini sejarah Indonesia zaman pra-Islam lebih banyak dari Jawa. Situs Kota Cina siap ungkap cerita adanya kejayaan di Pantai Timur Sumatera abad 11 hingga 14 Masehi.


    Pecahan tembikar yang dikoleksi di Musemu Situs Kota Cina Medan Marelan. (Daniel Tasmi)
    M Rusli, seorang pemotong rumput, membeli rumah di Lingkungan Tujuh Kelurahan Payah Pasir Kecamatan Medan Marelan pada 2006 lalu. Rumah permanen lengkap berpekarangan itu ia beli seharga Rp 43 juta. Eli, begitu disapa, isi pekarangan sekeliling rumahnya dengan pohon berbuah. Ia sering dengar cerita warga sekitar bahwa lingkungan tempat tinggalnya ini kerap ditemukan benda-benda kuno nan berharga.
    Eli tak lantas percaya, belum pernah menemukan sendiri. Selang tiga tahun, Eli ingin menanam pohon durian di belakang rumah. Baru tiga kali ayukan cangkul ke tanah. Eli terkejut. Benda seperti mangkuk berdiameter 46 senti muncul dari bongkahan tanah. Eli langsung membersihkan benda itu. Berwarna hijau kecokelatan. Di dalamnya ada ukiran naga terlihat timbul dengan tubuh melingkar mulut sampai ekor.
    Sejenak Eli abaikan rencana tanam pohon. Ia bercerita dengan beberapa orang tetangga. “Ada kutemukan kayak mangkuk, cantik kali mangkuknya,” ujar Eli menirukan percakapan dia saat itu.      
    Masyarakat Payah Pasir sudah tak heran bila temukan benda kuno di tanah mereka. Sebab arkeolog lokal hingga mancanegara silih berganti melakukan ekskavasi atau penggalian dan penelitian benda-benda kuno di tempat ini.  

    Eli yang mengaku awam dengan benda seperti itu hanya memajang mangkuk temuannya di lemari. Pernah sekali ia pakai buat alas memanaskan ikan di atas api namun mangkuk itu tetap utuh.
    Kabar Eli menemukan mangkuk kuno ini terhendus kolektor Tionghoa. “Berharga sekali ini Pak, apalagi jika yang Bapak temukan itu wajan penawar racun. Tiga miliar kami kasih ke Bapak,” kata Eli menirukan gaya bicara kolektor itu.

    Eli menanggapi biasa transaksi dengan kolektor ini. Maklum ia tak tahu persis benda apa yang ia temukan. “Saya orang tak tau. Mereka bilang mangkuk itu berharga, mereka mau beli saya enggak keberatan. Terserah mereka (kolektor –red) mau berapa dihargai,” katanya.

    Tercapailah kesepakatan mangkuk temuan Eli diganti seharga Rp 200 juta. Eli tak menerima uang tunai. Sebagai gantinya, kolektor memberi dua hektar kebun sawit di Stabat kepada Eli. 

    Jadilah Eli sekarang berprofesi petani sawit dari semula hanya pekerja mesin potong rumput. “Mudah-mudahan dua tahun lagi akan panen. Anak saya butuh biaya juga melanjutkan sekolah,” kata Eli.
    Begitu juga yang dialami Isa Usman. Ia juga warga Lingkungan Tujuh Paya Pasir. Bedanya Isa telah 24 tahun menetap di sana. Selama ini Isa banyak dengar kabar warga menemukan benda kuno secara tidak sengaja. “Fakta yang saya lihat semua warga yang menemukan benda-benda itu kebetulan saja. Saat kerja di kebun, saat gali lobang dekat rumah atau saat mencangkul di sawah. Kami awam semua soal benda seperti itu,” cerita Isa.

    Bagi Isa, menemukan pecahan-pecahan piring, sisa-sisa kerang itu sudah biasa. Baru dua bulan lalu ia dapati cerek kecil yang utuh saat mencari udang di sungai. Cerek itu berwarna putih yang dihias dengan lukisan warna biru orang berpakaian ala Cina. Temuan Isa juga cepat diketahui kolektor. Tanpa pertimbangan jelas, Isa hanya minta ganti sebesar Rp 500 ribu. Kolektor hanya menyanggupi Rp 300 ribu. Tak pelak transaksi ini gagal. 

    Namun Isa sadar, sebaiknya cerek itu ia serahkan  ke Museum Situs Kota Cina milik Pusat Studi Ilmu Sejarah dan Ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan. “Aku berpikir, berapalah harga uang itu dibanding saya sumbangsihkan untuk ilmu pengetahuan.” ujarnya. 

    Staf Museum Situs Kota Cina, Irfan Efendy, mengatakan sejak museum didirikan di lokasi ini, ada beberapa warga yang sukarela menyerahkan benda temuan mereka. Pussis hanya berikan imbalan berupa uang rokok kepada warga yang rata-rata petani dan nelayan.

    Benda temuan warga ini, kata Irfan banyak yang tidak utuh. Kebanyakan temuan  berupa pecahan keramik dan tembikar dari Cina dan negara-negara lain. Manik-manik asal India Selatan, uang kuno Cina abad 13, tulang belulang, kaca kuno, kerang-kerangan dan benda-benda budaya lainnya. “Temuan warga yang utuh kami tidak sanggup beli. Jelas kami kalah saing dengan kolektor yang punya modal besar,” ujar Irfan. Beberapa benda utuh di museum ini adalah hasil ekskavasi para akeolog.
    Irfan menyebutkan, ekskavasi situs Kota Cina pertama kali dilakukan Edward McKinnon, seorang arkeolog asal Inggris pada 1972-1979. Sekarang Ekskavasi dilakukan atas kerja sama Lembaga Kajian Prancis untuk Asia (EFEO), Pusat Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Medan dan Pussis Universitas Negeri Medan (Unimed).

    Tak semua hasil ekskavasi arkeolog ini dipajang di Museum Situs Kota Cina. Peneliti Balai Arkeologi Medan, Ery Sudewo, menjelaskan beberapa temuan ada yang disimpan di Museum Daerah Sumatera Utara dan ada yang masih diteliti di Balai Arekologi Medan. Ery pastikan tak satu pun benda temuan di situs Kota Cina dibawa ke luar negeri. “Ada kabar berhembus arkeolog Prancis membawa benda-benda kuno itu ke negara mereka. Saya jamin tak ada satu dari hasil ekskavasi boleh dibawa keluar Medan,” ujar Ery melalui via telepon seluler.

    Dari data Balai Arkeologi Medan, benda-benda kuno yang ditemukan adalah diperkirakan dari tiga dinasti. Fragmen keramik, arca Laksmi, arca Buddha besar dan bata dari Dinasti Sung dan Dinasti Yuan. Ada juga batu pahatan berbentuk prisma segi empat. Koin mata uang berasal dari Dinasti Tang (abad 10 Masehi) dan Dinasti Sung (abad 11 Masehi). Sebagian keramik yang ditemukan diperkirakan berasal dari Dinasti Yuan (abad 13-14 Masehi) dan Dinasti Sung (abad 10-13 Masehi).

    Meski demikian, adanya temuan-temuan warga yang dijual ke kolektor sangat disayangkan Ery. Hal ini menuntut pemerintah segera menyelamatkan keberadaan situs kota Cina. Bila melihat Undang-Undang No 10 tahun 2011 tentang cagar budaya, Ery mengatakan wilayah situs kota Cina telah layak ditetapkan sebagai wilayah cagar budaya yang harus dilindungi. Meski begitu, kewenangan ada pada Pemerintah Kota (Pemko) Medan.

    ***
    Rukiah (65) menunjuk ke bagian dasar sumurnya yang diperkirakan adalah bekas bangunan besar abad 14. (Ridha Anisa Sebayang)
    Di rumah Rukiah, seorang warga Payah Pasir, terdapat sumur berukuran 7x7 jengkal orang dewasa. Airnya cukup jernih untuk melihat bagian dalam. Dalamnya 2,5 meter. Rukiah tak ingat persis kapan keluarganya gali sumur itu. Yang ia ingat beberapa waktu setelah arkeolog Inggris Edward McKinnon melakukan penelitian di lahan sekitar rumahnya. “Tu, lihat dinding bagian dalam sumur itu, beda dia dengan bagian luar kan? Kata orang-orang meneliti itu bekas kuil atau kerajaan mungkin di sini dulu,” kata Rukiah sambil menunjuk ke dalam sumur. 

    Erond Damanik, Arkeolog sekaligus Sekretaris Pussis menjelaskan, di bawah rumah Rukiah itu ditaksir ada sebuah bangunan besar. Arkeolog memprediksi itu adalah bekas kerajaan atau tempat ibadah. Ia akui Pussis tak punya cukup dana mengganti lahan di sekeliling lima rumah keluarga Rukiah.
    “Dua miliar. Kalau tidak sanggup kami tak mau pindah dari sini,” kata Rukiah tanpa ragu. Wanita yang masih bekerja sebagai guru madrasah ini tak punya gambaran akan pindah ke mana jika lahan mereka diekskavasi. Rukiah lahir di daerah ini. Seumur hidup ia habiskan menjadi warga Lingkungan Tujuh Paya Pasir. 

    Membela warganya, Ponadi, Kepala Lingkungan (Kepling) Tujuh mengatakan boleh saja ekskavasi di lahan warga jika pemerintah atau arkeolog ‘ganti untung’. Jika harga sebanding dengan kemampuan untuk mendapat lahan dan rumah baru, warga tentu akan setuju. “Mana mau warga jika namanya ganti rugi, ya ganti untung pasti mau. Masa udah ganti rugi pula,” ucap Ponadi yang baru dua tahun menjabat Kepling. 

    Selain itu Ponadi mengaku keberatan dikeluarkannya larangan Pemerintah Kota (Pemko) kepada warga untuk melakukan jual beli tanah. Ponadi mencontohkan jika warga ingin jual tanah untuk keperluan mendadak mesti gigit jari. “Wah. Kacau lah. Tanah sudah awak kaveling mau dijual. Padahal butuh duit kali nih,” ujar Ponadi, tirukan keluhan beberapa warga pemilik tanah beberapa waktu lalu.
    Melihat fakta di lapangan seperti ini, Erond merasa untuk dapat lakukan ekskavasi besar-besaran mengungkap situs kota Cina mesti melalui proses ruwet. Apalagi para arkeolog akui butuh waktu cukup lama mengambil kesimpulan sejarah situs Cina. 

    “Kita mesti segera selamatkan situs sejarah kota Cina. Ini bagian catatan sejarah internasional. Jika bercerita sejarah perkembangan Kota Medan misalnya, kita awali dengan peradaban Kota Cina. Mungkin Marelan lah yang jadi pusat kota dahulu. Karena defenisi Kota itu kan tempat adanya interaksi dagang,” terang Erond saat dijumpai di kantor Pussis, Rabu (4/4).

    Alasan Erond dan arkeolog lain dengan dengan adanya acuan catatan disertasi Edward McKinnon di Yale University, Amerika Serikat, yaitu  Medan Marelan dulu adalah bandar dagang besar Pantai Timur Sumatera abad 11 hingga 14. Perdagangan ini didominasi oleh etnis Tionghoa dengan bukti temuan benda-benda kuno asal Cina. Namun ada juga benda dari daerah lain seperti dari India dan Pulau Jawa.

    Senada dengan itu, Ery berujar telah cukup bukti bahwa situs ini akan mengungkap cerita sejarah zaman pra-Islam di Sumatera. Sebab selama ini sejarah sebelum masuknya Islam di Indonesia didominasi oleh Pulau Jawa. “Untuk Sumatera, sedikit bukti yang ditemukan. Kita  bisa melihat Kerajaan Sriwijaya, hingga sekarang tak dapat dipastikan di mana lokasi ibu kota kerajaan maritim itu berada. Itu salah satu contoh aja. Makanya, kita tidak boleh kehilangan momentum mengungkap cerita sejarah yang terkubur di Medan Marelan,” ucap Ery lagi.
    Ahmadi, penjaga Museum Situs Kota Cina saat menjelaskan proses ekskavasi benda kuno di sekitar arela situs. (Daniel Tasmi)
    Ketakutan arkoelog seperti diutarakan Erond dan Ery akan hilangnya bukti-bukti jika terlalu lama dibiarkan. Hal ini merujuk temuan-temuan warga seperti halnya Eli, Isa dan warga lain. Jika benda kuno banyak dikoleksi kolektor, tentu sebuah kerugian besar bagi dunia ilmu pengetahuan.

    Secercah harapan arkeolog mulai terang saat kunjungan mendadak Pemko Medan pada Februari lalu. Walikota Rahudman Harahap membujuk warga untuk dukung lestarikan situs Kota Cina. Saat itu juga Pemko Medan tegaskan kepada Kapala kelurahan Payah Pasir agar tak ada lagi disahkan surat jual beli tanah kecuali seizin Pemko. “Kami mesti sabar dengan tindakan Pemko. Karena untuk urusan ganti lahan warga pemko masih belum kasih kejelasan,” tambah Erond. 

    Diketahui Ponadi, untuk ganti lahan milik keluarga Rukiah, Pemko telah coba tawari Rp 800 juta. Dengan angka ini belum ada kata sepakat yang diraih. Menurut Ponadi jelas berat jika hanya dengan angka sebesar itu. “Itu lima rumah lo. Pasti tak cocok lah, tak mudah bagi warga sini beli lahan dan dirikan rumah baru,” katanya. Begitu juga pendapat Rukiah. “Kami bukak harga dua M. tapi orang itu belum ada negosiasi lanjutan,”.

    Namun diungkapkan oleh Mansur Usman, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Medan, situs Kota Cina masih berstatus lahan penelitian. Berdasarkan masukan dari riset arkeolog dari lokasi, Pemko Medan tak menutup kemungkinan situs Kota Cina ini akan menjadi lahan cagar budaya untuk objek wisata arkeologi dan wisata bahari nantinya.
    Saat ini, Pemko Medan masih melakukan pendekatan-pendekatan kepada warga sekitar untuk melakukan pelebaran akses menuju Kota Cina. Mereka juga diiming-imingi keuntungan jika nanti Kota Cina telah menjadi objek wisata. Di kantor Pussis di kampus Unimed, Erond mengucapkan hal serupa jika penelitian telah siap, Kecamatan Medan Marelan akan dijadikan lokasi wisata arkeologi yang dihiasi dengan wahana laut yang tak jauh dari lokasi Museum Situs Kota Cina. 

    Warga dan Pemko Medan akan raup keuntungan besar bila di Marelan ada objek wisata. “Jika banyak wisatawan yang datang, bisa menambah income (pendapatan red) mereka dengan menjual souvenir dan sebagainya,” kata Mansur.

    Namun, hingga saat ini niat tersebut belum mendapat respon yang baik dari warga sekitar. Jangankan untuk dijadikan objek wisata, untuk hal penelitian ini mereka enggan bekerja sama. Pasalnya, sebagian dari mereka akan digusur karena akan dilakukan penggalian di area rumah mereka. Kompensasi yang dijanjikan ke masyarakat tak mampu membuat warga tergiur.
     
    Sementara bagi arkeolog yang ingin meneliti, dipersilakan setelah mengantongi izin dari Badan Arkeologi Sumatera Utara, dengan persyaratan yang berlaku. Saat ini, Disbudpar Kota Medan masih melakukan sosialisasi ke pelbagai pihak tentang adanya situs Kota Cina ini. Belum ada target kapan situs Kota Cina ini akan menjadi objek wisata yang utuh. “Sekarang sudah mulai banyak yang tahu dan sering datang,” tutupnya.


0 komentar:

Posting Komentar