• Perjuangan Untuk Mencapai Manisnya Hari Wisuda

    Berbagai tantangan harus dihadapi mahasiswa untuk mencapai prosesi wisuda. Wisuda adalah puncak pencapaian yang dituju mahasiswa selama betahun-tahun menuntut ilmu di bangku kuliah. Momen memakai Toga sangat dinantikan tiap mahasiswa


    22 Januari 2011, pukul setengah tujuh pagi. Lindawati Simbolon mengenakan kebaya dibalut Toga. Wajah sudah ia poles dengan bedak, eye shadow, blush on, eye liner, maskara, dan lipstik. Ia dan 69 peserta wisuda di barisan Fakultas Ilmu Sosial (Fisip) dan memasuki auditorium. Mereka boyong orang tua mereka masuk, lalu duduk di tempat yang sudah ditentukan. Linda lulus dengan IPK 3,52. Ia duduk di barisan depan di barisan peserta wisuda dari Fisip.


    Pukul 7.30 WIB prosesi dimulai dengan kata sambutan Rektor USU Syahril Pasaribu, kemudian pelatikan secara bersama oleh Rektor, pembagian ijazah dan sepatah kata dari perwakilan peserta wisuda. setelah melewati resepsi di Gedung Auditorium pada umumnya para peserta wisuda melakukan foto bersama dengan kerabat terdekat mereka.


    Seremonia itu, meski singkat, tapi berharga bagi Linda. Sudah lama ia membayangkan berfoto dengan orangtua, menggunakan toga. Pernah suatu hari, ketika ia sedang penelitian di Toba Pulp Lestari Kabupaten Toba Samosir, ia menangis karena merasa bingung dan kesulitan dengan birokrasi di sana.


    “Aku nyaris give up. Bayangin aja, seminggu aku di sana, tapi belum dapat apa-apa,” kata Linda.
    Satu hal yang membuat Linda kuat adalah orang tua. “Aku selalu ingat mereka, aku bayangkan mereka berfoto di hari wisuda.” Itu juga yang membuatnya mampu menyelesaikan studi di Ilmu Komunikasi hanya dalam 3,4 tahun.


    Ujian terakhir ia hadapi pada sidang meja hijau 21 Desember 2010. Ia sudah mempersiapkan segalanya, termasuk 10 kotak nasi untuk dosen dan pegawai. Tentang nasi itu, tak ada aturan yang mengharuskan untuk memberi atau melarang mahasiswa memberi. Kebiasaan memberi makan siang bahkan sudah menjadi tradisi di kampusnya. “Sudah seperti itu biasanya, mau tak mau, aku ikut aja lah,” kata Linda.


    Ketika Linda sudah merasa siap jiwa raga, salah satu dosen penguji mengatakan bahwa sidang ditunda. Kondisi fisik yang kurang sehat menjadi alasan si dosen. Linda dan beberapa mahasiswa yang juga mau sidang hari itu tak tinggal diam. Mereka hubungi sang dosen, hingga sidang akhirnya tetap digelar. Namun, mood dosen tersebut rusak. Ia marah-marah pada Linda. Keluar ruang meja hijau, Linda menangis. Namun kesulitan yang dialaminya terbayar dengan prosesi sesaat yang disebut wisuda.


    Cerita yang sedikit berbeda diutarakan oleh Farida Hanum, alumni Manajemen Ekstensi. Ia mengesalkan banyaknya uang keluar untuk melewati proses hingga wisuda. Untuk seminar proposal, Farida merogoh kocek sebesar 150 ribu rupiah yang dibayarkan ke bendahara fakultas bagian administrasi. “Uang ini kabarnya untuk administrasi seminar dan konsumsi bagi dosen yang hadir saat seminar dan ujian meja hijau,” kata Farida. Dari fakultas lewat pengelola kantin, masing-masing peserta sidang mendapatkan jatah empat kotak makanan ringan (Snack) yang akan diberikan kepada dosen. Namun untuk konsumsi audiens tergantung ke masing-masing mahasiswa untuk menyediakan atau tidak.


    Masih soal pembayaran Farida mengaku harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk biaya sidang meja hijau sebesar 375 ribu rupiah yang disetorkan ke biro rektor, “Untuk sidang kita minta kuitansi dari fakultas untuk bayar ke biro rektor 375 ribu rupiah,” ungkapnya. Ditambah lagi untuk resepsi wisuda ia membayarkan 500 ribu rupiah untuk sewa toga, salempang, serta untuk memperoleh ijazah.


    Sebelum sidang ada beberapa berkas yang harus dilengkapi seperti fotokopi sertifikat TOEFL, bebas perpus, fotokopi ijazah D3, slip pembayaran SPP (seluruhnya), pasphoto, KHS (seluruhnya), form sidang yang ditandatangani oleh PD 1 dan Kepala Sub Bagian Pendidikan.


    Di hari sidang juga disahkan Farida dan 34 mahasiswa lainnya resmi memiliki gelar Sarjana. “Kami berbaris untu disahkan pada hari itu bergelar Sarjana Ekonomi,” kenangnya penuh kelegaan.
    Pengalaman Linda dan Farida hanya sedikit menggambarkan berbagai cerita yang catatkan ribuan tamatan USU tiap tahunnya. Tiap departemen terkadang memiliki aturan tersendiri dalam birokrasi dan aturan-aturan lainnya. Seperti di Fakultas Psikologi seminar proposal diadakan dalam bentuk mata kuliah sedangkan di Fisip seminar tidak termasuk kepada mata kuliah.


    Zakaria, Pembantu Dekan (PD) I Fisip menjelaskan di Fisip tidak ada matakuliah. Seminar menurut Zakaria adalah berupa praktik kerja lapangan atau studi kasus yang diseminarkan untuk tanpa melibatkan pihak luar seperti seminar-seminar pada umumnya.


    Untuk ketentuan matakuliah seminar ini diserahkan pada departemen masing-masing, “ini merupakan matakuliah tingkat departemen sehingga menjadi kebijakan departemen,” terangnya.


    Zulkifli Nasution, Pembantu Rektor I USU memberikan komentar untuk hal ini. Ia mengatakan, peraturan sebelum wisuda itu memang normatif. Ada peraturan dari pusat namun sifatnya fleksibel yang disesuaikan kembali dengan kebijakan kampus masing-masing. “Peraturan yang ditentukan pihak rektorat kami kembalikan lagi kepada fakultas, namun tetap berpanduan kepada aturan-aturan yang tertera pada buku panduan (buku hijau -red).


    Zulkifli menambahkan apabila ada dosen yang tidak melayani mahasiswa seperti yang dihadapi Linda dan kawan-kawan, maka itu akan ditindak lanjuti oleh rektorat. “Pelayanan kepada mahasiswa harus yang terbaik,” tegas mantan Dekan Fakultas Pertanian ini.


    Jumlah Peserta Sidang Tak menentu


    Farida menjalani sidang meja hijau pada pertengahan Juni 2010. Sidang yang dilalui Farida kala itu adalah sidang massal karena banyaknya mahasiswa yang sidang meja hijau hari itu. “Kemarin sidang massal, sekitar 35 orang karena ngejar wisuda bulan Juli,” terangnya.


    Farida kembali mengingat hari itu ruang sidang tidak dapat menampung seluruh mahasiswa sehingga sidang meja hijau dipindahkan ke Aula FE dengan memungut 20 ribu rupiah per mahasiswa untuk kontribusi kebersihan. “Karena ruang sidang nggak muat, jadi pindah ke aula,” tuturnya.
    Hal yang sama juga sering terjadi di Fakultas Hukum (FH). Budiman Ginting, PD I FH mengatakan bahwa pada saat masa akhir pendaftaran wisuda, jumlah mahasiswa yang akan menyelenggarakan skripsi sering membludak. Menghadapi hal ini, pihak fakultas mengeluarkan kebijakan tenggat waktu pendaftaran sidang skripsi paling lama dua minggu sebelum pendaftaran wisuda. Namun untuk beberapa hal, mahasiswa tertentu masih diperbolehkan mendaftar ujian di luar batas yang telah ditetapkan. ”Terkadang pengumuman nilai UAS, dan batas pendaftaran sidang skripsi tidak singkron, saya kira masih bisa disisipkan, ini kebijakan yang kami tempuh agar mahasiswa tidak lagi membayar uang kuliah semester berikutnya,” ungkapnya.


    Budiman memiliki solusi dengan cara pengalokasian waktu dengan jumlah mahasiswa sidang yang lebih diperhatikan lagi. Selain itu demi menjaga mutu lulusan, sidang skripsi juga dapat dibagi dengan sebagian majelis diisi ketua departemen dan sebagian lagi diisi sekretaris departemen dan anggota majelis lainnya. ”Membludaknya mahasiswa tidak menjadi kendala lagi,” pungkas Budiman.
    Selain itu, departemen wajib melihat jumlah mahasiswa yang bakal ujian dan telah selesai, ”Kasubbag pendidikan dan departemen tetap ada komunikasi untuk mahasiswa yang ujian,” tutupnya.
    Husnan Lubis, PD I Fakultas sastra ikut memberikan komentar untuk hal ini. Menurutnya jumlah ideal peserta sidang dalam satu hari cukup tiga orang saja. Apabila lebih dari sepuluh bahkan mencapai 30 maka tidak bisa mencapai kualitas yang diinginkan, “Namanya juga dari segi kualitas tentu sulit dicapai karena terlalu banyak dan tidak kondusif. Apabila masih bisa mencapai kualitas yang bagus maka penguji itu Superman lha!” pungkasnya diiringi tawa kecil.


    Husnan juga mengungkapkan pandangannya tentang pengumpulan skripsi yang ideal. Menurutnya, mahasiswa sebaiknya menyerahkan skripsi sebulan sebelum sidang skripsi sehingga penguji dapat benar-benar matang dalam mempelajari skripsi dan mengetahui kesalahan yang terdapat dalam skripsi tersebut. “Kalau sekarang, kapan skripsi disitu dikasih bahannya, tentu saja dosen tidak sempat mempelajari lebih dalam dan juga akan berdampak pada mutu skripsi,” keluhnya.


    Mengganggu Konsentrasi Sidang


    Jumat (4/2) tepat jam 10.00 WIB ruang bagian akademik Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) terlihat berbagai kesibukan para pegawai. Ruang yang memanjang tersebut berdampingan dengan kantor Zulhaida Lubis, Pembantu Dekan (PD) I FKM. Beberapa pegawai keluar masuk untuk mengurus keperluan administrasi mahasiswa yang perlu untuk ditandatangani PD I.


    Disela-sela kesibukan tersebut, Zulhaida dengan wajah ramah duduk manis di kursi kerjanya memberikan penjelasan mengenai larangan bagi mahasiswa membawa makanan saat sidang proposal dan sidang skripsi. Ia mengatakan pihak fakultas menginginkan mahasiswa hanya terfokus kepada sidang meja hijau yang menentukan pencapaian perkuliahan mereka. “Kami hanya ingin meringankan beban mahasiswa, itu saja, sebab dengan urusan konsumsi ini konsentrasi mereka akan terganggu untuk sidang,” ucapnya diiringi dengan senyuman.


    Wanita berjilbab hijau lunak ini menilai, meski jumlah harga konsumsi yang dikeluarkan mahasiswa itu tidak seberapa, akan lebih efisien apabila mahasiswa lebih fokus ke sidang, tidak sibuk mempersiapkan konsumsi. Atas dasar itulah dekanat FKM mengeluarkan surat pemberitahuan sejak 11 Januari lalu untuk melarang mahasiswa menyediakan makanan apapun.


    Menanggapi hal ini, Delvina, Mahasiswa FKM mengatakan hal ini menghambat mahasiswa untuk mengucapkan terimakasih kepada dosen penguji. “Cuma itulah sebagai tanda terima kasih kepada dosen-dosen yang telah memberi kita gelar sarjana,” ucapnya ketika berjaga di stan Pentas Olahraga dan Seni FKM. Delvina menambahkan meskipun sudah dilarang, beberapa orang seniornya masih ada yang mengucapkan tanda terima kasih dengan pemberian Parcel kepada dosen secara pribadi.


    Umi Habibah Pane. Mahasiswa FKM yang baru saja menyelesaikan sidang pada akhir Desember 2010 lalu mengatakan bahwa mahasiswa mengatakan tidak ada yang keberatan dengan pemberian konsumsi bagi dosen penguji. “Ketika saya sidang, belum ada larangan untuk membawa makanan, tapi fakultas pasti menginginkan yang terbaik bagi mahasiswa,” imbuhnya sambil merapikan skripsinya yang berwarna hijau.


    Dengan larangan ini, konsumsi dosen penguji ditanggung oleh fakultas. “Fakultas akan menyediakan meskipun cuma sebatas minuman dan snack kecil,” lirih zulhaida. Berusaha mengingat ke beberapa tahun silam, zulhaidah mengatakan bahwa dulu konsumsi dosen penguji di FKM memang disediakan fakultas. Tetapi dengan keterbatasan dana, fakultas hanya menyediakan minuman sejenis jus untuk para dosen. “Mungkin dengan faktor inilah mahasiswa berinisiatif berkongsi satu sama lain untuk menyediakan konsumsi saat sidang,” jelasnya lagi.


    Larangan untuk membawa konsumsi ini juga diberlakukan di Departemen Ekonomi Pembangunan (EP) Fakutas Ekonomi. Irsyad Lubis, Ketua Program Studi EP mengatakan sudah lama melarang mahasiswa membawa konsumsi sewaktu sidang. “sebetulnya di FE sudah dilarang oleh PD I sebelumnya membawa makanan dalam bentuk apapun saat sidang di meja hijau,” tegas Irsyad.


    Namun mahasiswa tidak mengindahkan aturan tersebut. Irsyad menilai aturan ini hampir sama dengan larangan pemerintah kota yang melarang untuk memberikan uang kepada pengemis jalanan. “Adakah hukuman bagi masyarakat yang masih ngasih duit kepada gelandang dan pengemis itu? Tentu tidak,” ujar Irsyad sambil tersenyum.


    Namun demikian Irsyad mengatakan betul-betul melarang membawa makanan saat sidang meja hijau khususnya di EP. “Lebih baik mereka fokus dengan bundel skripsi masing-masing,” tambahnya lagi. (Febrian)

0 komentar:

Posting Komentar