Mereka tak sesali akan penyakit
yang diderita anak-anaknya. Di rumah singgah, mereka jalani hari sembari
mengharap anaknya dapat sembuh dan tumbuh menjadi anak yang kelak dapat buat
mereka bangga.
Oleh: Febrian Fachri
Foto: Ridha Annisa Sebayang |
Karena tak ada penanganan untuk penyakit yang diderita Yulius,
Telamanua membawa Anak sulungnya ini berobat ke Jakarta pada Mei 2010. Yulius
dibawa ke RS Atma Jaya.
Di sana ia divonis menderita kanker darah atau leukimia. Kakinya
dioperasi untuk menghilangkan bengkak yang membuat Yulius menderita. Namun
ternyata belum berhenti di situ. Meski Yulius sudah dioperasi, ia harus rutin
untuk menjalani kemoterapi, yaitu terapi kanker yang melibatkan penggunaan zat
kimia ataupun obat-obatan yang bertujuan untuk menghilangkan sel-sel kanker
dengan cara meracuninya.
Tak adanya
fasilitas kemoterapi di RS Atma Jaya, Telamanua membawa Yulius ke RS Kanker
Dharmais. Seminggu ia di sana juga tak ada hasil. Sebab dokter yang dapat menangani
sedang berada di luar negeri.
Maka Yulius diboyong ke RS Dr Cipto Mangunkusumo di Jakarta Pusat.
Ada enam bulan waktu dihabiskan untuk pengobatan Yulius selama di Jakarta.
Adanya sedikit kemajuan kondisi Yulius, Telamanua membawanya balik ke Nias.
“Tak berapa lama kembali ke Nias, si Yulius kambuh, kalau dibawa lagi ke
Jakarta tak ada lagi biaya karena sudah habis ratusan juta. Jadi saya bawa ke RS
Adam Malik Medan saja,” ujar Telamanua.
Telamanua hanya berprofesi penjual daging dan juga sebagai petani
di Nias. Biaya yang sudah banyak ia keluarkan untuk berobat Yulius dari
hartanya yang sudah terjual, bahkan ia juga sudah berutang sana-sini. Sekarang
perekonomian keluarganya dipegang istrinya yang masih berjualan.
Di RS Adam Malik, Telamanua bersyukur dengan kemudahan yang
diberikan dibanding saat Yulius diobati di Jakarta. Di RS Adam Malik, bisa
melakukan pembayaran jika sudah akan keluar dari RS. Sementara saat ia di
Jakarta jika masuk RS harus bayar terlebih dahulu. Telamanua mengaku tak punya
daya lagi untuk biaya pengobatan Yulius. Sementara Yulius harus menjalani
pengobatan rutin dalam jangka waktu yang tak tahu hingga.sampai kapan. “Biarpun
kami sudah habis-habisan, tapi yang penting adalah kesembuhan anak kami,” ucap
Telamanua lagi.
Bila kondisi
Yulius sudah agak membaik, pihak RS akan menyuruh pulang. Tapi harus tetap kontrol tiap seminggu sekali. Karena jauh
dari Nias, Telamanua tentu tak dapat bolak-balik Medan-Nias terlalu sering
karena terhalang biaya.“ Saya disarankan teman-teman di rumah sakit untuk
tinggal saja di Medan, ada rumah bersama yang disediakan untuk pasien dari
jauh,” ucapnya.
Maka, Telamanua dan anaknya Yulius memilih belum balik ke Nias. Ia
sementara tinggal di rumah singgah yang difasilitasi Yayasan Onkologi Anak
Medan (YOAM) yang letaknya tak jauh dari RS Adam Malik. Dengan fasilitas rumah singgah YOAM, Telamanua merasa bebannya
sedikit terkurangi.“Di sini kita merasa banyak terbantu. Serasa di rumah
sendiri dan gak bayar. Beras pun tak perlu beli. Cuma beli ikan sama sayur
saja,” katanya.
Nasib yang
nyaris sama diceritakan Edward Simatupang. Ia juga tengah mendampingi anaknya
Alfared Simatupang yang juga menderita leukimia sejak Juli lalu. Anaknya yang
biasa dipanggil Alfa sempat lumpuh sebelum mendapat penanganan di RS Adam
Malik. Sebelum terdeteksi mengidap penyakit leukimia, Alfa merasakan badannya panas naik turun. Mukanya memucat, dan lehernya
membengkak. Sekujur tubuhnya lembab sehingga membuat Alfa merasa kesakitan.
Sekarang
setelah enam bulan menjalani perawatan di RS Adam Malik, kondisi Alfa sudah berangsur membaik. Edward bilang, selera
makan Alfa juga bagus hingga membuat badannya sudah agak berisi. Jalannya juga
tak lagi harus ditopang.
Alfa siang itu, Sabtu (1/12) tengah asik main game komputer
di Rumah singgah YOAM. Rambut sudah rontok. Kelopak matanya sedikit kehitaman
dan tangannya sudah banyak bekas infus. “Karena sering dikemo makanya rambutnya
rontok,” ujar Edward.
Alfa yang harusnya sudah menduduki bangku SMP mesti menjalani
serangkaian pengobatan. Edward mengatakan saat ini Alfa telah melewati minggu
ke-17 untuk menjalani kemoterapi. Meski perubahan kondisi Alfa yang cukup mulai
membaik, Edward belum mau membawa Alfa pulang ke Samosir, tempat asal mereka.
“Sudah bisa sebenarnya Alfa saya bawa pulang dan berobat satu bulan sekali ke
Medan, tapi saya masih takut jika ia ngedrop lagi,” ujar Edward.
Ketakutan Edward ini lantaran pernah ada pasien sesama penghuni
rumah singgah YOAM yang meninggal saat sudah dibawa pulang ke tempat asalnya.
Maka Edward memilih tetap mendampingi putra semata wayangnya ini hingga
benar-benar pulih total dari penyakit yang ia derita.
Foto: Ridha Annisa Sebayang |
Sekarang bila Edward mendadak harus memenuhi kebutuhan darah untuk
Alfa, ia cukup melaporkan kepada relawan Family Suport Group (FSG) yaitu divisi
yang menggerakkan YOAM. Edward mengaku ia selalu dapat tanggapan baik dari
pihak FSG jika ia meminta bantuan darah.
Hari-hari yang dialami orang tua pasien di rumah singgah YOAM
hanyalah pasrah. Mereka terpaksa berhenti bekerja demi dampingi anak-anak mereka
yang tak dapat dipastikan kapan bisa sembuh. Acap Edward duduk-duduk di beranda
samping rumah singgah merenungi nasib anak yang sangat ia cintai.
***
Beberapa relawan FSG tengah sibuk dengan kegiatan donor darah di Gedung HSBC Sun Plaza di
Jalan Zainul Arifin, Medan pada Sabtu (1/12). Kegiatan Donor darah ini bekerja
sama dengan Bank HSBC mendatangkan jaringan dari kedua belah pihak, serta
publikasi lewat media. Jenny, salah satu relawan FSG menjelaskan aksi
penggalangan darah sudah beberapa kali dilakukan tahun ini. “Anak-anak di
rumah singgah sering butuh darah. Rata-rata ada 200 kantong perbulan, makanya
kami selalu usahakan kerja sama dengan instansi-instansi, dan pihak swasta juga
untuk ikut bantu,” kata Jenny. Hari itu, mereka berhasil memperoleh 70 kantong
darah.
Dikatakan
Jenny, darah yang diperoleh dapat dijadikan stok selama tiga minggu ke depan
karena rata-rata darah dapat disimpan paling lama hanya tiga minggu. Bila persediaan ini tak mencukupi hingga penggalangan darah
selanjutnya, Jenny dan beberapa relawan lain akan mengusahakan kepada para
pendonor tetap. Dari daftar orang yang pernah mendonorkan darahnya, FSG akan
coba tawari mereka menjadi pendonor tetap. Banyak juga pendonor tetap itu
adalah relawan-relawan FSG juga.
Jenny yang
termasuk salah satu relawan sejak pertama YOAM berdiri sejak delapan tahun lalu
mengatakan awalnya YOAM didirikan karena melihat banyaknya anak-anak yang
mengidap kanker. Konsentrasi YOAM lebih kepada anak-anak dari orang tua kurang
mampu yang berasal dari luar Kota Medan. Saat itu belum ada yayasan yang
menangani kanker anak di Medan. Maka dari itulah beberapa relawan termasuk
Jenny mulai gencar untuk meningkatkan rasa kepedulian terhadap kanker anak.
Ketua YOAM Atika Rahmi mengatakan, awalnya kegiatan YOAM hanya
sebatas membantu seperti penyaluran darah ataupun memberikan bantuan lewat
bimbingan kepada pasien kanker anak. Seiring bertambahnya jumlah relawan dan
donatur, maka sejak Juli 2011 lalu didirikanlah rumah singgah untuk dapat
ditempati pasien yang berasal dari luar kota. Sejauh ini, Atika mengatakan
pasien yang pernah menempati rumah singgah YOAM berasal dari tiga provinsi,
Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh.
Rumah singgah yang berlokasi di Jalan Bunga N’cole Komplek Medan
Permai itu terdiri dari tiga kamar, ruang tengah yang cukup lebar terbagi dua.
Di sini lah para pasien menghabiskan hari saat jeda dari pengobatan di RS Adam
Malik. Di rumah ini difasilitasi ‘fun terapi’ seperti alat-alat menggambar,
bahan-bahan bacaan anak-anak dan satu TV.
Budi Supriadi, relawan FSG yang setiap hari berada di rumah
singgah mengatakan, para pasien diberi kebebasan bermain dengan fasilitas yang
ada. Komputer untuk Budi bekerja tak jarang dipakai pasien untuk main game. Sesekali, kata Atika, FSG mendatangkan sukarelawan untuk
mendampingi anak-anak belajar sesuai permintaan orang tua pasien. Agar
menimbulkan gairah pasien untuk sembuh, FSG pernah juga mengajak pasien
jalan-jalan ke tempat-tempat wisata.
Edward mengatakan ia pernah ikut dibawa jalan-jalan ke Istana Maimun
saat FSG mengajak seluruh pasien berkunjung ke sana. Tak hanya tentang ‘fun
terapi’ Edward juga sukup senang dengan kontrol pihak FSG untuk masalah-masalah
yang dihadapi pasien rumah singgah.
“Masalah yang
sering dihadapi pasien itu adalah soal administrasi dari pihak RS. Jika pasien
minta bantu soal itu, kami (FSG, -red) akan
bantu lewat pembina YOAM yang juga dokter di Adam Malik,” imbuh Atika.
Atika mengakui untuk biaya pengobatan, FSG tak dapat membantu. Ia
mengatakan, sumbangsih hanya berbentuk fasilitas rumah singgah, bantu carikan
darah dan mengayomi pasien-pasien agar tetap punya semangat untuk sembuh.
Untuk tahun ini saja ada 15 pasien yang menghuni rumah singgah
YOAM semuanya adalah penderita kanker darah. Budi mengatakan telah ada tujuh
pasien yang meninggal. Budi yang setiap hari bersama pasien di rumah singgah
terkadang terpukul sendiri jika ada pasien yang menemukan ajal akibat penyakit
yang ia derita. “Terkadang kita masih sering lihat dia main di sini, enggak
tahu ia meninggal karena penyakitnya tak tertangani lagi,” ucap Budi.
Foto: Ridha Annisa Sebayang |
Atika menambahkan, mereka sering targetkan
pihak swasta untuk berdonasi dalam even yang diadakan YOAM. Sejauh ini YOAM
berhasil mengajak pihak swasta di setiap acara donor darah yang mereka adakan.
Ia berharap hadirnya YOAM dapat lebih banyak lagi membantu derita
pasien. Meski belum dapat membantu secara biaya, Atika menilai membantu dari
segi moril masih teramat penting. Pertolongan bukan hanya kepada pasien, tapi
juga kepada pihak keluarga yang terkadang depresi menghadapi derita anak
mereka.
0 komentar: