• Naskah Batak, Warisan Bertuah tapi Tak Terjaga

    Dahulu, kehidupan masyarakat Batak juga sarat dengan kealamian. Naskah menjadi panduan mereka melakukan rutinitas. Namun modernisasi mengakibatkan tak banyak yang paham dengan naskah Batak. Salah satu warisan berharga justru banyak yang dikoleksi di luar negeri.

    Sembilan jenis naskah Batak terletak di lemari pajangan yang semua dilapisi kaca. Dengan warna yang sudah kusam kecoklatan, menandakan ini sudah dibuat sejak ratusan tahun yang lalu. Di situ tertulis bahwa naskah ini ditulis dengan tinta yang terbuat dari jelaga kayu jeruk. Tak ada informasi pasti tahun pembuatan, dan siapa penulisnya. Semua naskah ini dipajang dalam keadaan terbuka. Terlihat isinya penuh dengan rangkaian huruf aksara Batak yang sangat unik. Hampir sama dengan penulisan aksara kuno lain di Indonesia seperti huruf aksara Jawa dan aksara Melayu. Naskah batak ditulis pada kulit kayu, dikenal sebagai pustaha (pustaka) atau laklak. Namun ada juga naskah yang ditulis di tulang, biasanya tulang kerbau dan bambu.

    Saat ini terdapat 192 naskah Batak yang tersimpan di Museum Daerah Sumatera Utara. Sangat sedikit dibanding jumlah naskah Batak yang dibawa ke luar negeri yang diperkirakan mencapai 1600 naskah. 1000 diantaranya dikoleksi di negeri Belanda. Ketika zaman penjajahan banyak orang eropa yang terkesan dengan isi naskah Batak. Mereka paham naskah Batak  sarat dengan ilmu pengetahuan yang tidak dapat dijumpai di tempat lain. Tergiur dengan jumlah uang yang ditawarkan, masyarakat Batak banyak menjual naskah yang mereka miliki kepada orang Eropa.

    Mehamat, salah satu staf museum daerah Sumetera Utara menceritakan, pemerintah mulai mengusahakan pengembalian naskah-naskah yang tersebar di luar negeri. Momentumnya adalah sejak diresmikannya museum TB Silalahi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Januari lalu di Balige Tanuli Utara. Mehamat adalah sedikitnya orang yang pandai menerjemahkan isi naskah Batak. Baik itu naskah Batak Angkola, Mandailing, Toba, Pakpak Dairi, Karo dan Simalungun. Informasi yang ia dapatkan, ukuran naskah-naskah yang ada di luar negeri lebih besar dari yang pernah jumpai di Sumatera Utara. “Bahkan ada yang seukuran meja makan dan itu terbuat dari kayu, tentu isinya juga menarik,” ucapnya.

    Pengembalian naskah ini menurut Mehamat akan terkendala dengan keadaan museum-museum yang ada di Indonesia. Untuk menjaga naskah dari kerusakan harus diletakkan pada tempat dengan suhu yang teratur. Mehamat mengalami, selama bekerja di museum sering menemui beberapa naskah yang rusak akibat suhu lemari pajang yang tidak terkontrol. “Ada juga yang rusak dihabisi rayap, makanya jika naskah itu ditarik dari luar negeri, museum di Indonesia harus mengikuti standar yang ada di luar negeri,” tambah alumni Sastra Daerah USU ini.

    Sarat Unsur Kearifan Lokal

    Jamorlan Siahaan, dosen Departemen Sastra Daerah USU sudah lama akrab dengan naskah Batak. Membaca naskah Batak sudah sesuatu hal biasa baginya. Ia sudah dikenal sebagai penerjemah naskah Batak. Jamorlan bisa mendeteksi keaslian dari naskah-naskah yang ia diterjemahkan. Cukup memegang dan mencium naskah, Jamorlan tahu sebuah naskah asli atau tiruan meskipun dengan tampilan sempurna.
     
    Jamorlan mengungkapkan saat ia menerjemahkan naskah yang asli, ia merasakan adanya unsur-unsur mistis yang terkandung di dalamnya. “Ini menandakan nenek moyang orang Batak yang menulis naskah adalah orang-orang yang mempunyai ilmu tinggi,” ucapnya.

    Ceritanya untuk menulis naskah ini, nenek moyang orang Batak harus melakukan pertapaan di suatu tempat keramat kepercayaan mereka. Di sana mereka menuntut ilmu untuk kebaikan aktivitas hidup yang mayoritas bergantung kepada hasil alam.  Ilmu yang mereka peroleh ini dituliskan di naskah. Ada yang ditulis di atas kayu, dedaunan, batu, kulit tumbuhan dan juga di tulang. 

    Jamorlan ikut menyayangkan tidak ada data penulis dan tahun pembuatannya. “Naskah ini sebagai bukti nenek moyang Batak mempunyai nilai sastra yang tinggi. Fokus penelitian yang pernah dilakukan Jamorlan adalah untuk naskah dari Batak Toba dan Mandailing. Ia mengatakan setiap naskah memiliki isi yang tidak jauh berbeda. Sebagian besar naskah Batak berisikan tentang norma dan etika, mengenai obat-obatan, penanggalan, ramalan cuaca, tata cara upacara adat hingga taktik perang. 
     
    “Dulu sangat sedikit orang jahat, mereka sangat patuh dengan tata karma yang diajarkan di dalam naskah, bahkan dalam perang masih ada tata cara saling menghormati,” terangnya

    Tetapi menurut Mehamat, tidak semua naskah berisi hal-hal yang baik. ada juga naskah yang berisi ilmu hitam seperti cara pelet, dan mencelakai orang. “Tapi kita sebaikanya mempelajari hal yang baik-baik aja, karena nenek moyang kita pasti menulis naskah untuk kebaikan anak cucunya juga,” cetus Mehamat lagi.

    Terkikis Akibat Perkembangan Zaman

    Nenek moyang batak mayoritas menganut kepercayaan Parmalim. seluruh isi naskah yang ada masih lekat dengan kepercayaan nenek moyang terhadap roh-roh gaib. Mehamat berasumsi, masuknya pengaruh agama membuat Naskah versi yang asli mulai ditinggalkan. Masuknya berbagai agama ke Sumatera Utara, dibarengi dengan pola hidup masyarakat yang modern dan masyarakat Batak tidak lagi mengutamakan naskah sebagai pegangan hidup mereka.

    Hingga sekarang, hanya masyarakat di pedalaman penganut kepercayaan parmalim yang masih menjaga mengamalkan naskah Batak. Hal ini sangat disayangkan oleh Mehamat dan Jamorlan sebagai orang yang paham dengan naskah. Mehamat berujar naskah adalah pusaka berharga yang ditinggalkan nenek moyang. “Kenapa orang eropa lebih tertarik dari pada orang bataknya sendiri, berarti kita yang tidak paham dengan naskah,” ungkapnya. 

    Di daerah tingkat II Sumatera Utara, siswa Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama memiliki mata pelajaran muatan lokal mempelajari baca tulis huruf aksara Batak. Saat meneliti, Jamorlan mengetahui tidak ada persamaan materi yang diajarkan mengenai aksara Batak. Hanya sebatas kemampuan sang guru untuk mengajarkan mata pelajaran tersebut.

    Jamorlan berpendapat, harusnya ada suatu panduan yang sama setiap tingakatan kelas mempelajari aksara Batak ini. Ia sempat berpikir untuk membuat buku dari hasil penelitiannya bersama Mehamat dan kawan-kawan. “Sudah lama saya ingin membukukan hasil penelitian supaya dijadikan buku panduan belajar aksara dan naskah di sekolah-sekolah. Namun urung terlaksana karena kendala dana,” terang Jamorlan, saat berdiskusi di kantin kampus Fakultas Ilmu Budaya, Sabtu (22/10). (Febrian)

1 komentar:

Posting Komentar