Pandai mencontoh yang sudah, seperti
itulah kata yang tepat untuk siapa yang menjadi orang nomor satu Sumatera Utara
nanti. Agar selalu pegang nilai-nilai yang ditanamkan pendahulu.
Oleh:
Febrian
Pada 1988, dua bulan sebelum resmi ditunjuk
sebagai gubernur Sumatera Utara (Sumut), rumah dinas Raja Inal Siregar yang
saat itu menjabat Panglima Komando Daerah Militer
III Siliwangi di Bandung selalu kedatangan beberapa akademisi Institut Teknologi
Bandung. Saat itu, Raja Inal mesti banyak membekali diri untuk mengisi posisi
Gubernur Sumut yang ditunjuk langsung oleh Presiden Suharto. Pada
pertemuan-pertemuan di rumah dinas Raja Inal inilah konsep Marsipature Hutana
Be dimatangkan.
Marsipature Hutana Be berasal dari bahasa Batak
Angkola yang berarti memperbaiki kampung sendiri. Yuriandi Siregar, Putra Raja
Inal yang saat itu masih duduk di bangku SMA mengatakan, konsep Marsipature
Hutana Be sebenarnya ada diterapkan di beberapa provinsi karena membangun desa
adalah termasuk visi Presiden Suharto.
“Kala itu saat saya masih SMA di
Bandung, sering ayah saya belajar lagi bersama dengan akademisi-akademisi
universitas di Bandung untuk belajar dan merancang konsep untuk mempersiapkan
diri menjadi pemimpin. Pastinya dengan latar belakang dunia militer, Raja Inal
harus banyak belajar lagi tentang dunia sipil,” terang Yuri kala dijumpai di
Jalan DI Panjaitan No 180 Medan, kediaman Raja Inal selama di Medan dulu.
Yuri mengatakan kala itu, pemilihan
gubenur belum seperti sekarang yang demokrasi, tapi penunjukkan langsung oleh
presiden. Menduduki kursi Gubernur Sumut Raja Inal begitu kental dengan
Marsipature Hutana Be selama sepuluh tahun ia menjabat pada 1988-1998. Yuri
bercerita Raja Inal sejak kecil sudah terbiasa hidup berpindah tempat hingga ke
desa-desa lantaran saat itu Indonesia pada era mempertahankan kemerdekaan yang
warnai peristiwa agresi militer oleh Belanda. Karena itulah Raja Inal paham
dengan kebutuhan hidup di desa.
Agar benar-benar dapat melihat kondisi
Sumut, Yuri membeberkan bahwa ayahnya
punya tingkat perjalanan yang cukup tinggi. Raja Inal sering turun ke berbagai
daerah di Sumut untuk melihat dan mengontrol kinerja pejabat daerah tingkat
kabupaten. Tingkat perjalanan yang tinggi ini menurut Yuri berdampak kepada
bagusnya lalu lintas di setiap daerah. “Biasanya kan begitu. Kalau gubernur
turun ke jalan pasti jalan-jalan diperbaiki,” ujarnya sambil tertawa.
Kemudian Yuri menyebutkan
pembangunan Yayasan Pendidikan
Marsipature Hutana Be (YPmhb) contoh
wujud membangun kampung. YPmhb merupakan sebuah yayasan yang mengasuh SMA N 2 Plus YPmhb Sipirok yang didirikan pada tahun
1995. Raja Inal terinspirasi dari Rektor ITB kala itu yang melihat kondisi
lulusan Tapanuli Selatan yang jumlahnya semakin berkurang untuk masuk ke
perguruan tinggi ternama.
Seingat Yuri,
ayahnya dulu turut memberikan subsidi bagi 24 anak yang punya prestasi bagus
dengan dana pribadinya. Begitulah semangat Marsipature Hutana Be terlihat
tatkala Raja Inal yang turut serta atas nama gubernur, menginspirasi perantau
untuk ikut mengembangkan SMA N 2 Plus YPmhb. “Sekarang sekolah ini telah
tergolong Sekolah Nasional Berstandar Internasional,” katanya.
Didirikannya SMA N 2 Plus YPmhb turut memotivasi mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik
Indonesia ke-5 Faisal Tanjung untuk mendirikan SMA Negeri 1 (Plus) Matauli Pandan, Tapteng. Memiliki
konsep yang hampir sama dengan SMA N 2 Plus YPmhb ,
SMA 1 (Plus) Matauli juga dibawahi Yayasan Matauli (Maju Tapian Nauli)
yang juga turut didalangi mantan ketua DPR Akbar Tanjung.
Di tempat terpisah, Pakar Sosiologi Politik
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Shohibul
Anshor Siregar juga berujar makna dari semboyan yang disingkat martabe lebih kepada proses demokratisasi masyarakat yang
berpeluang mengamalkan nilai-nilai luhur yang mendorong sinergi untuk membangun
daerah masing-masing.
“Raja Inal menyadari banyak masyarakat Sumatera
Utara yang merantau ke berbagai daerah, dan tak sedikit yang berhasil di
rantaunya. Hal ini lah yang digalakkan oleh Raja Inal agar mereka yang berhasil
di rantau itu ikut berkontribusi membangun daerah asalnya,” katanya.
Begitulah gambaran semangat Marsipature Hutana Be
yang dilakukan oleh Raja Inal. Shohibul menambahkan dengan Martabe,
Raja Inal menyamakan membangun kampung sendiri itu dengan ibadah. Di mana
dengan kontribusi membangun daerah pastinya ia ikut membantu keluarga-keluarga
yang ada di kampung halaman.
Muhammad Tok Wan Haria, seorang wartawan senior, tidak hanya
melihat Raja Inal dengan semangat Martabe.
“Gubernur yang cukup perhatian dengan sejarah,” itulah kata pertama yang
keluar dari Muhammad TWH kala ditanyai tentang Raja Inal. Ia mengingat saat
memberi masukan kepada Raja Inal untuk mengoreksi urutan 12 Gubernur Sumut
sebelum dirinya.
Dengan menggelar pertemuan saat itu dengan gubernur, Muhammad
TWH menjelaskan dengan beberapa bukti tertulis yang ia miliki bahwa Gubernur
Sumut yang pertama bukanlah Ferdinand Lumban (FL) Tobing, tapi adalah Sutan
Muhammad Amin Nasution. Sebagai pemerhati sejarah
khususnya Sumut, Muhammad TWH saat itu mengatakan kepada Raja Inal akan
pentingnya untuk meluruskan sejarah agar masyarakat tidak keliru.
Sesekali memejamkan mata untuk mengingat,
Muhammad TWH bercerita Sutan Muhammad Amin Nasution dilantik oleh Gubernur
Sumatera Tengku Muhammad Hasan pada 14 April 1947 di Pematang Siantar. Sejak
saat itu, Sumatera telah menjadi tiga provinsi. Aceh, Sumatera Utara, dan
Sumatera Selatan.
Sementara itu FL Tobing di waktu yang bersamaan
menjabat sebagai Gubernur Militer dari sebelumnya menjabat sebagai Residen Tapanuli.
“Karena waktu yang bersamaan itulah makanya terjadi kekeliruan fakta sejarah,
maka saya meminta saat kepada Raja Inal untuk mengoreksi susunan
gubernur-gubernur Sumatera Utara yang fotonya berjejer di kantor gubernur itu,”
katanya.
Sejak saat pelurusan urutan tersebut, Gubernur
Raja Inal menyerukan agar diterbitkan buku yang ditulis oleh Muhammad TWH yang
berjudul Mengenal Gubernur Sumatera Utara
1947-1998.
Berbekal hubungan dekat dengan Raja Inal ini,
Muhammad TWH yang juga pemerhati sejarah mendapat sokongan dari sang gubernur
untuk menerbitkan buku-buku sejarah.
***
Selasa (13/11) di Stadion Mini USU, Ketua Umum
Persatuan Sepakbola Putra Buana Halim Panggabean tengah memperhatikan timnya
beruji coba melawan tim UKM Sepakbola USU. Sembari itu, ia bercerita kepada
saya tatkala ia masih berusia remaja, saat ayahnya Kamaruddin Panggabean
mendapat kepercayaan dari Gubernur Marah Halim Harahap untuk menjadi ketua
panitia turnamen Marah Halim Cup. Yaitu turnamen sepakbola yang
mempertandingkan tim-tim yang berasal dari mancanegara. Ia mengatakan sejak
tahun 1974 turnamen ini terdaftar sebagai turnamen resmi federasi sepakbola
dunia FIFA.
Halim yang juga mantan pengurus PSMS Medan
mengatakan tingkat kepopuleran sepakbola Sumut mulai meningkat karena adanya
turnamen Marah Halim Cup. “Gubernur Marah Halim termasuk penggila bola, dia
selalu mengatakan biarlah kalah dalam pertandingan lain asalkan jangan kalah
main sepakbola,” ucap Halim menirukan ucapan gubernur yang dekat dengan ayahnya
itu.
Tujuan utama Marah Halim menyelenggarakan ajang
ini adalah merangsang pesepakbola Sumatera Utara untuk dapat berprestasi di
tingkat interasional. Saat itu hampir di setiap penyelenggaraan PSMS selalu
ikut serta.
Marah Halim begitu mempercayakan segala hal
mengenai penyelenggaraan kepada Kamaruddin yang juga menjabat Ketua Harian
Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Sumut (1967). “Misalnya sekian dana
dianggarkan untuk Marah Halim Cup, itu dana seratus persen dipercayakan kepada
ayah saya. Dan ayah saya yang paham dengan pelaksanaan teknis bebas berkreasi
agar even terselenggara dengan baik,” papar Halim.
Halim masih teringat saat melihat ayahnya
sepulang kediaman Gubernur Marah Halim dengan raut yang sangat ceria. Saat itu,
di suatu final Marah Halim Cup yang salah satu finalisnya adalah PSMS Medan,
Marah Halim sangat takjub dan memberi pujian kepada Kamaruddin Panggabean
sebagai ketua pelaksana turnamen di mana penonton begitu membludak hampir
mendekati bibir lapangan Stadion Teladan.
“Saya yang ikut menonton pertandingan tersebut
kala itu melihat, panitia membentangkan tikar pelastik agar penonton yang tak
kebagian tempat duduk dapat menikmati pertandingan dengan baik,” jelas Halim.
Adanya Turnamen Marah Halim Cup yang telah
bertaraf internasional tak membuat Gubernur Marah Halim puas. Untuk memancing
bakat-bakat olahraga Sumatera Utara, kembali memercayakan kepada Kamaruddin,
Marah Halim Cup juga diadakan untuk kelas antarkabupaten di Sumut. Bedanya
dengan Marah Halim Cup Internasional yang hanya mempertandingkan sepakbola,
Marah Halim Cup antarkabupaten mempertandingkan beberapa cabang olahraga
seperti bola Voli, badminton, atletik, dan lain-lain layaknya sebuah
penyelenggaraan pekan olahraga.
Halim yang juga pemain sepakbola saat itu merasa
gairah masyarakat Sumut untuk olahraga sangat tinggi lantaran adanya wadah yang
disediakan seperti turnamen ini. “Output-nya
agar saat ada penyelenggaraan seperti PON (Pekan Olahraga Nasional -red) atlet-atlet telah ada yang akan
dikirim karena sudah dipantau secara berkala,” kata Halim. Ia mengenang
almarhum ayahnya, Kamaruddin Panggabean, yang dulu rajin ke daerah-daerah untuk
memantau atlet-atlet di turnamen Marah Halim Cup antar kabupaten.
Tingginya tingkat partisipasi masyarakat terhadap
olahraga diakui Halim karena peran besar Gubernur Marah Halim yang selalu beri
dukungan penuh. “Tapi sekarang sudah tak ada lagi turnamen sehebat itu bahkan
di Indonesia, padahal saya tahu betul bagaimana susahnya memperjuangkan
terlaksananya Marah Halim Cup dulu,” ujar Halim.
Ia mengatakan sangat mengagumi sosok Marah Halim
yang tak ada gantinya hingga sekarang. Secara keseluruhan Halim mengatakan
Marah Halim adalah sosok yang dekat dengan masyarakat, tegas, dan paham
kebutuhan masyarakat Sumatera utara.
Muhammad TWH mengatakan Marah Halim tak hanya
membuat hal yang besar untuk persepakbolaan Sumut di mana selain dekat dengan
olahragawan, ia juga gemar bergaul dengan seniman. Pembangunan Studio Film
Sunggal merupakan wujud keseriusan Marah Halim memfasilitas para seniman film.
Dana pembangunan saat itu dikutip dari pajak nonton selama tahun 1975-1977.
Muhammad TWH
menceritakan saat itu, hadirnya Studio Film Sunggal turut memberi dampak
lahirnya praktisi-praktisi perfilman Sumut. Ia sangat menyayangkan tak
sanggupnya pemerintahan sekarang untuk mempertahankan keberadaan studio sunggal
dari penguasaan pihak swasta. “Hanya ada satu kamera yang tersisa sebagai
kenangan kejayaan studio film sunggal dulu. Dan kamera itu sudah kita serahkan
ke museum daerah Sumut,” ucap Muhammad TWH.
Muhammad TWH yang juga
cukup dekat dengan Marah Halim mengatakan, sosok Marah Halim mempunyai
pembawaan yang keras dan terkesan seram. Namun dengan pembawaan seperti itu,
kata Muhammad TWH tak menghalangi Marah Halim dekat dengan banyak orang. “Dia
walaupun keras, tapi tetap bersahabat dan enak diajak bercandaan. Bahkan saat
kami main tenis sama-sama ia tak jarang mendapat ejekan bercandaan dari
kawan-kawannya, tapi tetap saja suasana dapat ia bawa santai,” terang TWH.
Shohibul Anshor juga melihat dari segi
infrastruktur pada zaman Marah Halim cukup efektif dengan kebutuhan masyarakat
Sumut yang mayoritas hidup dari hasil pertanian dan perkebunan. Shohibul
menjelaskan kala itu Marah Halim paham betul dengan baiknya infrastruktur
seperti sarana lalu lintas akan memberi kemudahan bagi masyarakat untuk
mendistribusikan hasil-hasil bumi. “Marah Halim sangat menyertai keinginan
rakyat Sumatera utara,” ucapnya.
Di salah satu situs media online nasional, Shohibul
Anshor pernah menulis artikel berjudul Gubsu
Ideal dan Merakyat, bahwa ia mengapresiasi empat nama yang pernah menjabat
Gubernur Sumut. Abdul Hakim, Marah Halim Harahap, Edwad Waldemar Pahala
Tambunan dan Raja Inal Siregar.
Ada lagi EWP
Tambunan. Ia menuliskan mengenai banyak yang sinis dengan cara gubernur yang
satu ini yang mengembalikan setiap anggaran yang tidak habis digunakannya.
Sangat berbeda dengan tradisi pemerintahan yang menghabiskan anggaran dengan
berbagai kegiatan yang tak masuk akal direstui bersama oleh eksekutif, legislatif
dan yudikatif berikut seluruh komponen penegakan hukum yang ada. “Semua tahu
kegiatan menghabiskan anggaran menjelang akhir tahun anggaran itu hanya modus
pencurian uang Negara, tetapi malah tetap saja disenangi,” ujar Shohibul saat
membagi cerita di ruangan kerjanya di UMSU, Kamis (8/11).
Selain itu, Shohibul menjelaskan dengan visi membentuk pemerintahan yang
bersih, EWP Tambunan
sering
melaksanakan sidak ke lapangan secara mendadak. Untuk memantau pekerjaan
aparatur-aparatur yang ada di bawahnya. “Karena sering turun ke jalan ini lah ia
dikenal oleh masyarakat. Ia juga dikenal ramah dan tegas,” kata Shohibul.
Kemudian satu lagi ketokohan dimiliki AWP Tambunan adalah sebagai sosok
pemimpin yang menyadarkan persatuan dan kesatuan dengan rasa pluralitas yang
tinggi. Ia tak
pilih kasih dengan suku dan agama yang komplet di Sumut. Shohibul mencontohkan
saat EWP Tambunan membuka salah satu Musabaqah
Tilawatil Qur’an (MTQ). Ia yang pemeluk agama Kristen tak terkendala
melafazkan ayat suci Alqur’an dan menyerukan betapa tingginya kesucian kitab
Umat Islam tersebut.
Muhammad TWH
menambahkan, EWP Tambunan adalah orang yang sangat disiplin yang acap membuat
bawahannya kalang kabut. Dimaksudkan Muhammad TWH adalah jika EWP Tambunan
menjalani suatu agenda, ia akan hadir di waktu yang sesuai dijadwalkan. “Kebiasaan
orang kita kan, toleransi terhadap keterlambatan, apalagi itu pejabat. Nah
untuk EWP Tambunan hal itu tidak ada. Janji jam 7 ya jam segitu dia hadir di
lokasi, kalang kabut lah,” ujarnya.
Sebagai tempat utama penyelenggaraan dibangunlah saat itu Stadion
Teladan yang peletakkan batu pertama dilakukan pada 17 Agustus 1952 oleh Abdul
Hakim. Biaya pembangunan stadion yang cukup megah pada saat itu menelan Rp 7
juta termasuk biaya penyelenggaraan PON ke III, sudah cukup besar kala itu.
Dana
yang begitu besar untuk penyelenggaraan PON diperoleh dari berbagai usaha
seperti mengadakan pasar malam di Lapangan Merdeka Medan, mengadakan
pertunjukkan gala primer unggulan di bioskop-bioskop di Medan, serta berbagai
kegiatan di samping bantuan pemerintah. Abdul Hakim berprinsip tidak akan
bergantung dengan dana dari pemerintah pusat kala itu. Maka ia selain dari
usaha tadi ia mengajak partisipasi 17 kabupaten untuk memberi bantuan.
Begitulah sedikitnya gambaran menganai hal baik
yang pernah ditorehkan oleh beberapa mantan Gubernur Sumut yang mendapat
acungan jempol dari masyarakat. Namun Muhammad TWH menyatakan semua gubernur
Sumatera Utara punya sisi dan gaya tersendiri. “Semua sudah berjuang untuk
masyarakat. Relatif juga sebenarnya jika kita melihat baik dan buruknya,”
katanya.
Pun demikian bagi Shohibul anshor. Ia berani
mengemukakan empat nama lantaran punya keberhasilan yang cukup menonjol yang
mengharumkan nama Sumatera Utara dan disukai masyarakat. Terakhir, Shohibul
berharap agar gubernur yang akan dipilih pada Maret Tahun depan dapat berkaca
dengan apa yang pernah dilakukan gubernur-gubernur selanjutnya.
wah jadi banyak tau yah ttg Orang besar di Provinsj saya ini,,,