• Inkonsistensi Media Giring Kasus



    Oleh: Febrian Fachri 
    Jalannya suatu negara tak dapat mengecilkan peran media massa sebagai kontrol sosial masyarakat yang ada di dalamnya. Pada poin ke lima dari hasil pemikiran Maestro Jurnalisme Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme tentang Jurnalisme sebagai pemantau kekuasaan patut kita tujukan kepada peran media sebagai alat ampuh untuk mengontrol segala gejala sosial yang terjadi, tak terkecuali tentang pelbagai hal yang dilakukan penguasa atau orang-orang yang dipercaya sebagai aparatur penguasa atau pemerintah.

    Tentunya setiap negara berdiri di atas nilai-nilai dasar kenegaraan yang menjadi landasan yang mengokohkan poisisi negara tersebut dalam konteks internal dan eksternal. Indonesia berdiri di atas landasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Di mana sejak kita mengenal dunia pendidikan, dua dasar negara tersebut telah dijejali kepada setiap anak bangsa dan seharusnya tak perlu lagi kita jabarkan di sini.

    Nilai-nilai murni dari dasar negara ini tentu tak hanya sebatas dipelajari dan ketahui saja. Namun perlu adanya ejawantah nyata dari butiran-butiran yang telah dirumuskan dengan pelik oleh bapak-bapak pendiri bangsa.

    Kembali kepada peran media, maka media punya peran penting untuk selalu meluruskan apabila elemen-elemen negara sudah membelot dari nilai-nilai dasar negara. Untuk kontrol terhadap masyarakat umum, kita bisa petik dari lagu lirik lagu Iwan Fals “Masalah moral, masalah akhlak, biar kami cari sendiri” bisa kita ambil gambaran bahwa masyarakat dapat mengontrol dirinya sendiri atau kasarnya dapat diurus oleh tokoh-tokoh masyarakat.

    Tapi untuk kontrol terhadap penguasa, media harus punya konsistensi sebagai pengawal karena jika dalam bekerja si ‘pejabat’ atau aparaturnya keluar dari nilai-nilai dasar maka akan berdampak luas dan signifikan bagi seluruh masyarakat suatu negara. Karena mereka digaji dengan dana publik, menggunakan fasilitas publik dan harus bekerja sebaik-baiknya untuk kepentingan publik karena pada umumnya mereka dipilih melaui forum publik (pemilu).

    Mari kita kerucutkan pembahasannya. Meski sifat kebablasan dari penguasa dan pegawai publik yang dapat kita bahas, namun yang paling seksi dibicarakan tentunya adalah masalah korupsi. Korupsi sudah sejak lama mendarah daging di Indonesia yang tak dapat diketahui siapa yang memulainya pertama kali. Namun di era keterbukaan sejak masuk zaman reformasi hingga sekarang, kita telah dapat mengetahui jika suatu perilaku korupsi muncul ke permukaan. Lagi-lagi peran media yang cukup besar menyebarluaskan informasi kepada publik. Dengan sedemikian banyaknya kasus korupsi yang diinformasikan, banyak menimbulkan celetukan nada pesimis dari masyarakat tentang bobroknya Indonesia akibat korupsi.

    semenjak Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) dibikin di awal pemerintahan Indonesia beralih ke tangan Susilo Bambang Yudhoyono telah banyak pelaku-pelaku korup dipenjarakan dan mendapat punishment di mata publik lewat media.

    Tapi jika kembalikan ke peran media, penanganan berbagai kasus besar seperti dana talangan Bank Century, Skandal BLBI, Hambalang, Wisma Atlet, Simulator Surat Izin Mengemudi, akan gencar ditangani bila media getol menyoroti. Saat ini, cantiknya oper bola kasus Simulator SIM dan KPK selalu masuk di pemberitaan media lokal dan nasional. Maka KPK yang selalu jadi narasumber utama dalam berita akan kian benar-benar bekerja menangani kasus ini. Bagaimana dengan kasus yang telah luput oleh perhatian media? Apa kabar Century, BLBI, dan lainnya? Begitu juga dengan Wisma Atlet yang belum kelar meski M Nazaruddin telah dibui.

    KPK lebih suka membahas kasus yang tengah empuk jadi santapan media. Mungkin KPK, Kapolri, Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum hanya bekerja atas dasar tuntutan pemberitaan media. Jika media tak lagi memberitakan, penanganan kasus meredup, sunyi senyap bahkan hilang dari permukaan. Untuk Kejaksaan juga saya berikan contoh dengan kasus Kaburnya tersangka terkait skandal BLBI Joko Tjandra yang sekarang telah menjadi warga Negara Papua New Guinea. Ketika heboh diberitakan, kejaksaan seolah dapat menyelesaikan kasus dengan cepat. Namun sekarang, kita tak tahu sampai mana pembahasannya.

    Jika memang seperti itu perilaku para pejabat, pegawai publik, penegak hukum, harusnya media mencari jalan lain dalam menjalankan fungsi kontrol sosial. Media jangan pesimis dengan turun naiknya animo penegak hukum untuk memburu dan menghukum pelaku menyimpang kelas atas.
    Meski cukup berat, media harus bisa mengawal setiap kasus hingga penegak hukum bekerja hingga tuntas hingga ke akar-akarnya. Tatkala aparatur pemerintah lalai, media lah yang tepuk bahu dan kembalikan ke trek yang benar sesuai nilai murni dasar negara.

    Di zaman keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi, masyarakat tak lagi dapat dibohongi. Media harus bisa antisipasi agar publik tetap menaruh kepercayaan kepada media itu sendiri. Media juga melek dalam memperhatikan tanaga wartawan sebagai ujung tombak dalam mencari informasi yang akan disampaikan ke publik. Artinya setiap pekerja media itu sendiri juga harus paham dengan ke Sembilan butir Sembilan elemen jurnalisme. Seperti kebenaran, loyalitas kepada msyarakat, idependensi dan lainnya itu adalah kunci utama agar media dapat bekerja sesuai dengan kaidahnya. Begitu juga dengan kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik agar tak menimbulkan kesalahan dalam bekerja.

    Saya yakin jika media selalu konsisten berperan sebagai watch dog atau juga attacking dog, maka akan ada ketakutan dari pelaku-pelaku kejahatan publik untuk berbuat langkah salah karena hukuman moral yang diberikan media jauh lebih sakit dari pada hukuman di penjara.





0 komentar:

Posting Komentar