• Setelah Ketuk Palu UU PT


    Oleh: Febrian Fachri
    Akhirnya setelah sekian lama digulirkan, Rancangan Undang-undang Perguruan Tinggi (RUU PT) disahkan menjadi UU PT saat sidang paripurna DPR, Jumat (13/7). Pihak Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan  juga telah menyetujui butiran poin yang tertera pada UU yang santer dikatakan jelmaan baru UU Badan Hukum Pendidikan yang batalkan Mahkamah konstutusi .

    Mahasiswa beserta elemen lain yang berkebaratan dengan putusan ini gencar melakukan aksi penolakan. Mahasiswa turun ke jalan, kritik tajam menjamur di media. Tentunya yang dilirik adalah beberapa poin yang dirasa tidak berpihak kepada realita yang dihadapi rakyat Indonesia masa sekarang.

    Palu sudah diketuk, Menteri juga sudah menyetujui. Artinya kita bersiap menantikan apa yang akan terjadi dengan penerapan UU PT ini. Saya menulis ini bukannya berpendapat pro pemerintah. Tapi saya berusaha untuk melihat beberapa sisi baik yang tertera pada UU PT.

    12 bab dan 100 pasal dengan pokok pengaturan substansi penting, seperti ketentuan umum, dasar, asas, fungsi, dan tujuan pendidikan tinggi. Penyelenggaraan pendidikan tinggi, kerja sama internasional, penjaminan mutu, tata kelola, kemahasiswaan, pengembangan, pendanaan dan pembiayaan pendidikan tinggi, penyelenggaraan pendidikan tinggi asing, dan peran serta masyarakat.

    Adalah beberapa poin yang jelaskan anggota komisi X DPR RI. Saya melihat, penolakan yang dilayangkan hanya di beberapa yang dirasa berdampak buruk. Misalnya komersialisasi, diskriminasi. Sejak sebelum disahkan saja biaya pendidikan dapat diakali agar bisa naik oleh pihak perguruan tinggi. Begitulah kira-kira. Sekarang kita harusnya berharap banyak pada masing-masing universitas untuk benar-benar menjalankan UU yang telah diputuskan. Kita berpendapat kritis atas penyelenggaraan pendidikan di Indonesia lantaran beberapa tindakan tak kooperatif yang dilakukan pihak universitas tempat kita bernaung sendiri. Uang kuliah naik, fasilitas biasa saja, dan prestasi mandek.

    Kembali ke poin yang dipermasalahkan. Komersialisasi pendidikan. Pengkritik mengkhawatirkan akan semakin leluasanya universitas mengatur pola keuangan masing-masing. Bukan tidak mungkin universitas akan menaikkan SPP, mengkomersilkan elemen-elemen kampus, mejadikan kampus sebagai ajang cari duit. Bukankah ini punya sisi positif bagi sivitas akademik. Mahasiswa akan belajar cara agar mandiri dalam mengatur pola hidup sendiri dari kampus. Dari ini akan lahirlah dari pihak pejabat kampus, dosen hingga mahasiswa berbagai ide yang kreatif untuk memanfaakan peluang yang ada untuk mencari keuntungan finansial. Kita tidak usah takut kampus menjadi ajang mencari uang. Asalkan pengelolaan mendapat jaminan sebuah kejujuran dari pihak yang punya wewenang penuh sebuah universitas. Selama ini yang kita temui adalah fakta ketidaktransparanan dari pihak kampus dalam soal anggaran. Duit masuk ke kantong universitas dari SPP, DKA, APBD dan lain-lainnya itu tidak terinformasikan dengan baik kepada publik.

    Jadi, pelaksanaan UU PT nanti juga harus sejalan dengan Undang-undang nomor 14 tahun 2008 yang berisi jaminan hak masyarakat memperoleh informasi. Maka dengan penenganan ini akan ada semacam kehati-hatian universitas dalam pengelolaan anggaran. Hanya satu syaratnya. Jujur.

    Kemudian masalah ketakutan adanya diskriminasi soal kemampuan finansial. Tak semua mahasiswa atau  calon mahasiswa berstatus golongan orang yang mampu. Padahal UU PT juga menyediakan ruang bagi kalangan tidak mampu. Dari penjelasan undang-undang ini, setiap kampus negeri wajib menjaring paling sedikit 20 persen dari kuota mahasiswa baru untuk pelajar dari kawasan terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Bararti kalangan menengah ke bawah juga tak luput dari perhatian para penggodok RUU PT agar mereka tetap dapat melanjutkan pendidikannya di kasta tertinggi ini. Penyediaan bantuan bagi mahasiswa yang kurang mampu juga bakalan tetap ada. Ditambah dengan cara universitas melobi pihak-pihak swasta untuk menyalurkan bantuan asalkan tak akan menyalahi Tridharma Perguruan Tinggi.

    Kemudian agar ada subsidi bagi mereka yang kurang mampu mesti ditelaah dengan teliti. Pendataan detail oleh pihak universitas agar bantuan biaya pendidikan dapat tepat pada sasaran bagi penerima yang benar-benar berhak. Selama ini bantuan yang diperuntukkan bagi kalangan kurang mampu untuk biaya kuliah sering tidak tepat sasaran. Mahasiswa-mahasiswa berduit juga dapat menikmati rupiah dari beasiswa. Maka kembali lagi aparatur perguruan tinggi yang selama ini tidak bekerja sepenuh hati dalam pendataan.

    Jadi gencarnya penolakan atas pengesahan UU PT masih menduga-duga sisi negatif yang akan muncul. Mari kita mencoba legawa atas apa yang telah lama digodok wakil-wakil kita di Senayan sana. Kita harus memberi kepercayaan atas apa yang telah rancang. Bukankah rapat berkali-kali itu telah menguras banyak pikiran, tenaga biaya dan waktu? Kita tentu dapat yakin dengan kredibilitas orang-orang yang kita pilih saat pemilu legislatif ini. Mereka bukan orang yang bodoh yang dengan gampang mengambil kebijakan. Setiap UU yang dirancang tentunya punya nilai-nilai positif yang bertujuan untuk kemajuan rakyat dalam jangka waktu yang panjang. Jika selalu mengedepankan sikap kritis dan apatis terhadap para wakil rakyat memang tak akan pernah habisnya. Sampai kapanpun dari setiap butiran UU yang mereka kerjakan punya celah yang dapat dicari sisi tak baiknya.

    Untuk itu, jika UU PT bila benar-benar terealisasi nanti, pihak universitas juga harus bersiap diri atas beberapa perubahan yang akan muncul. Kesiapan tak hanya kita tuntut pada petinggi-petinggi universitas, tetapi seluruh anggota yang terlibat di dunia kampus. Untuk meraih suatu perubahan membutuhkan dukungan dari berbagai pihak.

    Namun beberapa butir pasal-pasal UU PT yang memang dirasa tak bisa diterima rakyat secara keseluruhan dapat kita gugat lagi melalui judicial Review (hak uji materil) yaitu, sebuah  kewenangan  lembaga  peradilan untuk   menguji   kesahihan   dan   daya   laku produk-produk    hukum    yang    dihasilkan oleh  ekesekutif  legislatif  maupun  yudikatif di hadapan konstitusi     yang     berlaku. Jadi tidak etis juga kita menutup diri atas UU PT secara keseluruhan. Apalagi Masa transisi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) akan habis pada akhir tahun ini. Jika Rancangan UU PT ini tidak tak kunjung disetujui maka tidak akan ada payung hukum terkait nasib PT BHMN.

0 komentar:

Posting Komentar