• Tertawakan Dunia dengan Menulis

    Saat kecil ia tak pernah  bercita­cita jadi penulis. Ia hanya bayangkan  suatu saat bisa jadi pemain sepakbola. Tapi setelah dewasa ia kenali jati dirinya. Jiwanya terpanggil untuk selalu menulis.
    Oleh: Febrian
    Tepatnya ketika Yulhasni masih duduk di bangku SMA Negeri 8 Medan. Kalaitu, Yul sapaan akrab nya selalu tertarik melahap rubric cerpen yang dimuat di Waspada. Hingga suatu hari, cerita anak berjudul Rumah Hantu menginspirasi Yul untuk belajar menulis. Majalah dinding sekolahnya pun ia manfaatkan menjadi media agar tulisannya dapat dibaca banyak orang.
    Sampai di bangku kuliah, menulis menjadi hal yang maujud buat Yul. Pria kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat ini tidak pernah berhenti melahirkantulisan seperti cerpen, puisi, naskah teater dan tulisan-tulisan jurnalistik
    Dalam melahirkan beragam tulisan, Yul selalu mendapat inspirasi dari apa yang terlihat. Namun tulisannya banyak mengulas apa yang tak terpikirkan orang, karena dalam menulis ia selalu menggunkan logika terbalik. “Mencari ide itu sangat mahal lo, untuk mencarinya aku sering sering melakukan pengamatan, baca-baca, jalan-jalan keluar juga. Banyak sekali apa yang terlihat itu perlu dikritisi karena dunia ini perlu kita tertawakan kurasa,” selorohnya.
    Ide yang diperoleh Yul kemudian ia kemas dengan gaya khasnya. Ia menulis apa saja yang hendak ia kemukakan. Ia mencontohkan tulisannya Geng Kereta. “Orang­biasanya bilang geng motor, padahal kita di Medan ini nyebut motor itu kereta,kan banyak juga yang salah orang memakai bahasa Indonesia ini, motor itu kan mesin, jadi geng mesin la itu artinya,” katanya.
    Salah satu rekan Yul ketika masih aktif di Pers Mahasiswa SUARA­USU, RusliHarahap menilai, karya-karya tulis­Yul sedap untuk dibaca. Ada nilai sosial yang disampaikan. “Naskah karya Yul yang ditampilkan di Teater
    ‘O’itu contohnya, banyak mengkritisi hal-hal pada masa itu. Dan cerita disampaikan sarat dengan kelucuan nan menghibur,” ingat Rusli.
    Rutinitas menulis cukup membantu finansial Yul semasa kuliah. Media lokal ternama di Medan seakan antre memuat tulisan Yul. Selama kuliah di Jurusan Bahasa Indonesia Fakulutas Sastra (FS) USU, ia tak per nah dibiayai orang­tua.“Gak banyak juga honor nulis di media ini, tapi karena sering, cukup juga lah. Buat beli buku, beli baju, dan buat traktir pacar aku juga,” katanya tergelak.
    Beberapa karya Yul banyak mendapat apresiasi. Tercatat ada 14 karya Yul dibuat dalam bentuk buku. Di antaranya Rezim (Antologi Puisi Lima Penyair Demonstran) diterbitkan oleh Badan Koordinasi HMI Sumatera Utara tahun 1994, Koin Satu Milyar (Antologi Cerpen Jurnalis Medan) diterbitkan Yayasan Seri tahun 2002 dan Raja Tebalek: 10 Naskah Teater ‘O’ USU, Penerbit Madju Medan, 2009. Selain itu, Yul juga pernah menerima penghargaan sebagai salah seorang dari lima penulis naskah terbaik Dewan Kesenian Medan 2005. Secara gamblang Yul merasa, ia banyak mendapatkan ilmu dari luar akademiknya. Ia merasa kepribadian, dan pola pikirnya terbentuk dari beberapa organisasi tempat ia mengabdi.
    Begitu juga dengan kemampuan menulis yang ia raih. Uniknya, meski Yul menasbihkan diri sebagai sarjana pada tahun 1998 di USU, ia tidak ambil ijazahnya hingga tahun 2009. Justru ia teringat ijazah ketika hendak melamar jadi dosen di Universitas Muhammadiyah Sumatera­ Utara (UMSU). “Ingat juga akhirnya sama ijazahmu Yul,” ujar Yul menirukan pegawai tata usaha FIB. Ia sangat tergelitik saat menceritakan kejadian
    itu. Yul mengatakan ia tak butuh ijazah ketika tamat S1. Saat masih aktif kuliah ia sudah diterima kerja di media lokal. Saat itu untuk melamar bekerja di media yang dibutuhkan hanya transkrip nilai.
    ***
    Sosok yang asik, lucu, pintar dan tidak suka formalitas. Begitulah hal yang paling diingat Rusli Harahap. Ingatannya kembali masa 16 tahun silam ketika pertama kali jumpa dengan Yul. Pada tahun1995, Rusli yang baru saja mendapat kepercayaan dari Rektor USU saat itu Prof Yusuf Hanafiah untuk mengelola Pers Mahasiswa SUARA USU. Untuk menjalankan organisasi penerbitan ini, Rusli mengundang beberapa penggiat penerbitan fakultas dan saat itu Yul sudah bersta tus Pemimpin Redaksi Majalah Wacana FS. Yakin bahwa Yul sudah berpengalaman dalam hal dapur redaksi, Rusli sebagai pemimpin umum mempercayai Yul menjadi Pemimpin Redaksi SUARA USU pertama. Secara pribadi Rusli menilai Yul adalah orang yang mau belajar, terbuka terhadap kritikan dan bisa menjadi tauladan bagi adik-adik di bawahnya. “Meski menjabat pemimpin redaksi, Yul tidak akan
    Segan-segan terjun liputan ke lapangan, itu yang ia tanamkan soal militansi,” urai Rusli.
    Meski sebagai pemimpin redaksi Yul selalu dituntut tegas ia selalu bisa mengendalikan suasana. Dengan logat bicara yang cepat, tidak jarang Yul melontarkan kata-katadan ekspresi yang mengubah suasana menjadi santai. Yul selalu giat memperdalam kebolehannya menulis berita bersama kawan-kawannya. Yul mengaku tidak pernah­mendapat pelatihan jurnalistik secara khusus. Yul menggiring rekan-rekannya untuk belajar secara autodidak. “Kami beli koran-koran koyak di Sumber untuk belajar nulis berita. 5W+1H aja gak ngerti kami dulu,” cerita Yul yang saat ini berstatus dosen mata kuliah jurnalistik UMSU.
    Sekarang, walaupun tidak lagi bekerja sebagai jurnalis, Yul masih sering menjadi pelatih jurnalistik dan calon-calon wartawan. Yul juga masih aktif menulis di media local Medan. Baik itu puisi, cerpen, esai sastra juga kritik terhadap naskah. Ia terus meraih kepuasan batin saat tulisan-tulisan yang ia hasilkan dibaca banyak orang. "Bangga jadi penulis. Apalagi saat tulisanku dimuat di media ternama. Semakin banyak juga orang baca," katanya.
    Satu hal yang tak disukai Yul adalah menulis ilmiah. Sebab Yul tidak suka kerumitan. Ia ingin santai dalam segala hal yang ia lakukan. "Ada pernah orang memintaku nulis karya ilmiah, tak mau aku, pening kepalaku dibuatnya," ujarnya. Begitulah Yulhasni.

0 komentar:

Posting Komentar